Halaman

    Social Items



R.M Margono Djojohadikusumo, turunan ke-13Adipati Mrapat .

Kakek Prabowo Subianto, RM. Margono Djojohadikusumo, adalah generasi muda nasionalis awal kelahiran 16 Mei 1894. Dia adalah nasionalis muda angkatandibawah Tirto Adi Suryo, Dr.Cipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara dan seorang Indo-Belanda Danu Dirja Setiabudi (Dauwes Dekker). Margono Djojohadikusumo, tercatat sebagai putra dari daerah Lembah Serayu yang diangkat menjadi anggota BPUPKI pada tanggal 29-April – 1945, sehingga ikut serta dalam proses penggodogan Pancasila sebagai dasar negara.

Ketika Kabinet Presidentil ke-1 terbentuk dengan Bung Karno sebagai Presiden dan Moh.Hatta wakilnya, RM. Margono diangkat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara(DPAS).

Saat Kabinet Syarir terbentuk, RM.Margono mengusulkan agar NKRI membentuk sebuah bank sirkulasi. Usul RM. Margono disetujui, sehingga terbentuklah BNI. RM.Margono diangkat sebagai Direktur Utama BNI yang baru didirikan itu.

Ayah Margono adalah seorang Wedana Banyumas, menyelesaikan pendidikannya di ELS. Nampaknya dia seorang autodidak yang cerdas, hingga bisa mencapai puncak jenjang karir yang cukup tinggi. Besar kemungkinan Margono sudah lama mengenal Syahrir, melalui PNI-Baru(Pendidikan Nasionalis Indonesia), sebuah Partai Kader yang aktif memberikan kursus kursus dalam masalah politik kebangsaan dan ekonomi. PNI-Baru didirikan oleh Bung Hatta dan Syahrir, setelah Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang didirikan Bung Karno, membubarkan diri atas inisiatip Mr.Sartono. Mr.Sartono beralasan ditahannya Bung Karno di Penjara Sukamiskin, sebagai dasar pertimbangan untuk membubarkan partai yang berhaluan massa radikal itu.

PNI-Baru akhirnya bubar juga, setelah Hatta dan Syahrir ditangkap dan dibuang Belanda ke Digul, kemudian dipindahkan ke Banda. Tetapi Hatta-Syahrir sudah sempat membentuk jaringan kader-kadernya yang luas di seluruh pelosok tanah air, khususnya Jawa. Termasuk daerah Banyumas tentunya. Kelak kader-kader Syahrir dalam PNI-Baru itulah yang menjadi inti Partai Sosialis pimpinan Syahrir.

Nampaknya terpilihnya Margono menjadi anggota BPUPKI adalah lewat pengaruh Hatta-Syahrir yang sudah dikenalnya melalui pelatihan kaderisasi PNI-Baru. Kelak Sumitro, putranya menjadi kader partai sosialis kesayangan Syahrir yang sangat istimewa karena talenta dan bakatnya yang luar biasa dalam bidang ekonomi.

Ada yang menarik memang bila kita mengikuti rekam jejak tokoh-tokoh sosialis. Mereka rata-rata aktor autodidak yang tekun, rajin dan ulet. Syahrir sendiri adalah contohnya. Syharir tidak pernah menyelesaikan bangku kuliahnya. Tetapi dia seorang autodidak yang tangguh. Demikian pula anak didiknya yang sukses menjadi tokoh publik, seperti Sugondo Djojopuspito, Sujatmoko, Muchtar Lubis, Rosihan Anwar dan lainnya lagi. Nampaknya Prabowo pun mengikuti tradisi tokoh-tokoh sosialis yang pastilah banyak dikenalnya, seorang autodidak yang ulet. Dalam budaya autodidak di kalangan tokoh-tokoh sosialis generasi awal, Pak Harto sekalipun bukan tokoh sosialis, nampaknya terinspirasi oleh mereka. Merintis karir melalui budaya autodidak.

Ciri lain yang menonjol dari tokoh-tokoh Partai Sosialis generasi awal, ialah pandangannya yang sekuler terhadap agama, tetapi tidak anti agama.Kosmopolitan tetapi tetap seorang nasionalis dangemar melakukan perkawinan lintas agama dan kebangsaan, tetapi tetap setia kepada agama leluhurnya, Islam.

Syharir, menikahi wanita Belanda. Demikian pula Dr.Cipto Mangunkusumo, Takdir Ali Syahbana. Dan tak terkecuali Sumitro, ayah Prabowo. Bisa jadi karena menjadi menantu Pak Harto, Prabowo lebih menonjol sikapnya sebagai seorang yang nasionalis relijius dari pada ciri-ciri seorang sosialis.

Bakat intelektual dan darah pejuang nampak pada Margono Djojohadikusumo, ketika dia menata Perbankan di Indonesia. Dia lah aktor dibalik pendirian Bank Negara Indonesi. Putranya tiga orang yang juga memiliki bakat intelektual dan pejuang, yaitu Sumitro, Subianto dan Sujono.

Putra sulungnya RM.Margono, Sumitro, adalah sosok yang memiliki bakat intelektual yang luar biasa. Karena itu, RM. Margono mengarahkan pendidikan putra sulungnya, Sumitro agar bisa mengembangkan bakat intelektualnya dengan mengirimkan sekolahnya ke Universitas terbaik di Eropa. Sementara itu putra ke-2 dan ke-3, Subianto dan Sujono, rupanya memang mewari darah pejuang dari para leluhurnya. Keduanya masuk Akademi Militer Tangerang yang didirikan pada bulan November 1945 dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot.

Pada tangggal 25 Januari 1946, meletuslah perang mempertahankan kemerdekaan di sejumlah daerah. Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo dengan didamping Letnan Satu Subianto memimpin 70 siswa Akademi Militer Tangerang menuju Lengkong. Terjadilah pertempuran yang hebat, tapi tidak seimbang. Dalam pertempuran itu32 siswa Akademi Militer Tangerang itu gugur. Termasuk diantara yang gugur sebagai kusuma bangsa itu adalah Mayor Daan Mogot, Lettu Subianto(21 tahun) dan Taruna Sujono(16 tahun). Dua yang terakhir itu adalah putra ke-2 dan ke-3 dari RM.Margono Djojohadikusumo, yang berarti adik Sumitro dan pamannya Prabowo. Tentu saja saat pamannya Prabowo itu gugur sebagai bunga bangsa, Prabowo belum lahir. Prabowo baru lahir limat tahun kemudian(1951 ).

Dari Sumitro, R.M Margono mempunyai empat orang cucu, yaitu Biantiningsih Miderawati, Marjani Ekowati Le Maistre, Prabwo Subianto dan Hashim Sujono.Nama putra RM.Margono yang gugur pada usia remaja itu, diabadikan melengkapi nama dua cucunya yang putra: Prabowo dan Hashim.

RM.Margono Djojohadikusumo, wafat pada tanggal 25 Juli 1978 pada usia 78 tahun. Putra Banyumas, turunan ke-13 Adipati Mrapat itu, dimakamkan di kompeks makam keluarga para Bupati Banyumas, Dawuhan, tempat para leluhurnya menikmati istirahat abadi.

Sumber Berita : Kompas.com

Mengenal Lebih Dalam Leluhur Prabowo Subianto, Para Ksatria dari Lembah Serayu Banyumas



R.M Margono Djojohadikusumo, turunan ke-13Adipati Mrapat .

Kakek Prabowo Subianto, RM. Margono Djojohadikusumo, adalah generasi muda nasionalis awal kelahiran 16 Mei 1894. Dia adalah nasionalis muda angkatandibawah Tirto Adi Suryo, Dr.Cipto Mangunkusumo, Ki Hadjar Dewantara dan seorang Indo-Belanda Danu Dirja Setiabudi (Dauwes Dekker). Margono Djojohadikusumo, tercatat sebagai putra dari daerah Lembah Serayu yang diangkat menjadi anggota BPUPKI pada tanggal 29-April – 1945, sehingga ikut serta dalam proses penggodogan Pancasila sebagai dasar negara.

Ketika Kabinet Presidentil ke-1 terbentuk dengan Bung Karno sebagai Presiden dan Moh.Hatta wakilnya, RM. Margono diangkat sebagai Ketua Dewan Pertimbangan Agung Sementara(DPAS).

Saat Kabinet Syarir terbentuk, RM.Margono mengusulkan agar NKRI membentuk sebuah bank sirkulasi. Usul RM. Margono disetujui, sehingga terbentuklah BNI. RM.Margono diangkat sebagai Direktur Utama BNI yang baru didirikan itu.

Ayah Margono adalah seorang Wedana Banyumas, menyelesaikan pendidikannya di ELS. Nampaknya dia seorang autodidak yang cerdas, hingga bisa mencapai puncak jenjang karir yang cukup tinggi. Besar kemungkinan Margono sudah lama mengenal Syahrir, melalui PNI-Baru(Pendidikan Nasionalis Indonesia), sebuah Partai Kader yang aktif memberikan kursus kursus dalam masalah politik kebangsaan dan ekonomi. PNI-Baru didirikan oleh Bung Hatta dan Syahrir, setelah Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang didirikan Bung Karno, membubarkan diri atas inisiatip Mr.Sartono. Mr.Sartono beralasan ditahannya Bung Karno di Penjara Sukamiskin, sebagai dasar pertimbangan untuk membubarkan partai yang berhaluan massa radikal itu.

PNI-Baru akhirnya bubar juga, setelah Hatta dan Syahrir ditangkap dan dibuang Belanda ke Digul, kemudian dipindahkan ke Banda. Tetapi Hatta-Syahrir sudah sempat membentuk jaringan kader-kadernya yang luas di seluruh pelosok tanah air, khususnya Jawa. Termasuk daerah Banyumas tentunya. Kelak kader-kader Syahrir dalam PNI-Baru itulah yang menjadi inti Partai Sosialis pimpinan Syahrir.

Nampaknya terpilihnya Margono menjadi anggota BPUPKI adalah lewat pengaruh Hatta-Syahrir yang sudah dikenalnya melalui pelatihan kaderisasi PNI-Baru. Kelak Sumitro, putranya menjadi kader partai sosialis kesayangan Syahrir yang sangat istimewa karena talenta dan bakatnya yang luar biasa dalam bidang ekonomi.

Ada yang menarik memang bila kita mengikuti rekam jejak tokoh-tokoh sosialis. Mereka rata-rata aktor autodidak yang tekun, rajin dan ulet. Syahrir sendiri adalah contohnya. Syharir tidak pernah menyelesaikan bangku kuliahnya. Tetapi dia seorang autodidak yang tangguh. Demikian pula anak didiknya yang sukses menjadi tokoh publik, seperti Sugondo Djojopuspito, Sujatmoko, Muchtar Lubis, Rosihan Anwar dan lainnya lagi. Nampaknya Prabowo pun mengikuti tradisi tokoh-tokoh sosialis yang pastilah banyak dikenalnya, seorang autodidak yang ulet. Dalam budaya autodidak di kalangan tokoh-tokoh sosialis generasi awal, Pak Harto sekalipun bukan tokoh sosialis, nampaknya terinspirasi oleh mereka. Merintis karir melalui budaya autodidak.

Ciri lain yang menonjol dari tokoh-tokoh Partai Sosialis generasi awal, ialah pandangannya yang sekuler terhadap agama, tetapi tidak anti agama.Kosmopolitan tetapi tetap seorang nasionalis dangemar melakukan perkawinan lintas agama dan kebangsaan, tetapi tetap setia kepada agama leluhurnya, Islam.

Syharir, menikahi wanita Belanda. Demikian pula Dr.Cipto Mangunkusumo, Takdir Ali Syahbana. Dan tak terkecuali Sumitro, ayah Prabowo. Bisa jadi karena menjadi menantu Pak Harto, Prabowo lebih menonjol sikapnya sebagai seorang yang nasionalis relijius dari pada ciri-ciri seorang sosialis.

Bakat intelektual dan darah pejuang nampak pada Margono Djojohadikusumo, ketika dia menata Perbankan di Indonesia. Dia lah aktor dibalik pendirian Bank Negara Indonesi. Putranya tiga orang yang juga memiliki bakat intelektual dan pejuang, yaitu Sumitro, Subianto dan Sujono.

Putra sulungnya RM.Margono, Sumitro, adalah sosok yang memiliki bakat intelektual yang luar biasa. Karena itu, RM. Margono mengarahkan pendidikan putra sulungnya, Sumitro agar bisa mengembangkan bakat intelektualnya dengan mengirimkan sekolahnya ke Universitas terbaik di Eropa. Sementara itu putra ke-2 dan ke-3, Subianto dan Sujono, rupanya memang mewari darah pejuang dari para leluhurnya. Keduanya masuk Akademi Militer Tangerang yang didirikan pada bulan November 1945 dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot.

Pada tangggal 25 Januari 1946, meletuslah perang mempertahankan kemerdekaan di sejumlah daerah. Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo dengan didamping Letnan Satu Subianto memimpin 70 siswa Akademi Militer Tangerang menuju Lengkong. Terjadilah pertempuran yang hebat, tapi tidak seimbang. Dalam pertempuran itu32 siswa Akademi Militer Tangerang itu gugur. Termasuk diantara yang gugur sebagai kusuma bangsa itu adalah Mayor Daan Mogot, Lettu Subianto(21 tahun) dan Taruna Sujono(16 tahun). Dua yang terakhir itu adalah putra ke-2 dan ke-3 dari RM.Margono Djojohadikusumo, yang berarti adik Sumitro dan pamannya Prabowo. Tentu saja saat pamannya Prabowo itu gugur sebagai bunga bangsa, Prabowo belum lahir. Prabowo baru lahir limat tahun kemudian(1951 ).

Dari Sumitro, R.M Margono mempunyai empat orang cucu, yaitu Biantiningsih Miderawati, Marjani Ekowati Le Maistre, Prabwo Subianto dan Hashim Sujono.Nama putra RM.Margono yang gugur pada usia remaja itu, diabadikan melengkapi nama dua cucunya yang putra: Prabowo dan Hashim.

RM.Margono Djojohadikusumo, wafat pada tanggal 25 Juli 1978 pada usia 78 tahun. Putra Banyumas, turunan ke-13 Adipati Mrapat itu, dimakamkan di kompeks makam keluarga para Bupati Banyumas, Dawuhan, tempat para leluhurnya menikmati istirahat abadi.

Sumber Berita : Kompas.com

No comments